Masa Depan adalah Damai
Perkenalkan namaku Yamres Pakniany, orang-orang biasa memanggilku James. Aku lahir di bagian timur Indonesia, tepatnya di Maluku. Hari ini, aku akan bercerita tentang narasi hidupku dari anak yang terkena dampak konflik hingga menjadi pembawa misi perdamaian. Tahun 1998, aku dan keluargaku liburan Natalan ke kampung. Kami tak sempat kembali ke Ambon, karena konflik terjadi di tahun 1999.
Aku menjalani pendidikan SD hingga SMP di kampung, yang komunitasnya beragama Kristen. Semasa itu, aku seringkali menonton film-film konflik yang diputar oleh orang tua. Aku harus mengkonsumsi tontonan yang mengerikan dan menakutkan. Hingga pada akhirnya, tontonan itulah yang membuat aku benci kepada Islam. Aku baru kembali ke Ambon pada tahun 2007 untuk melanjutkan pendidikan di jenjang SMA. Aku tiba di Ambon dengan kebencian yang sangat kuat terhadap Islam.
Kebencian itu membuat aku tidak akrab dengan teman-teman yang beragama Islam. Kebetulan aku bersekolah di SMA yang mayoritas beragama Islam dan itu membuat rasa benciku semakin kuat. Aku menjadi minoritas yang tidak mengalami kebebasan. Aku selalu menyendiri dan tidak mau berelasi dengan teman-temanku yang beragama Islam. Sebagai korban konflik tahun 1999, aku selalu memiliki rasa takut dan khawatir ketika berpapasan dengan orang yang berbeda agama denganku.
Baca juga: Kabar Baik dari Indonesia
Aku selalu berpikir, mereka yang berbeda denganku adalah orang jahat, kejam dan tidak manusiawi. Prasangka terhadap orang yang berbeda agama, melahirkan dendam dan berujung pada relasi yang tidak baik. Tahun 2010, aku dipertemukan dengan beberapa orang muda yang beragama Islam. Mereka adalah orang-orang yang bekerja untuk menebarkan pesan damai kepada komunitas-komunitas. Ketika bertemu mereka, dendam di dalam hati semakin memanas, bagaikan api dalam sekam.
Komunikasiku dengan mereka tidak terbangun dengan baik, yang ada hanya amarah. Sahabat, satu ketika aku diajak oleh mereka untuk menginap di tempat mereka yang mayoritas beragama Islam. Rasa takut akan dibunuh menyelimuti batinku. Hingga aku masih terbangun sampai pagi. Karena kekhawatiran aku akan dibunuh. Ternyata prasangka dan curiga yang terbesit dibenakku tidak terjadi. Aku masih bernafas sampai pagi tiba.
Bahkan aku disiapkan sarapan oleh rekanku yang beragama Islam. Ternyata, prasangkaku salah. Hari demi hari aku jalani bersama dengan mereka yang berbeda. Pada akhirnya aku mulai menyadari bahwa hidup tak harus memusuhi. Momen berjalan bersama dengan mereka yang berbeda, mengantarkanku pada sebuah titik merenung dan harus memaafkan. Kisah pilu yang pernah terjadi, bukan kisahku. Itu kisah lama yang harus aku tinggalkan. Pada akhirnya mereka yang berbeda denganku, kupanggil kakak dan adik.
Panggilan kasih dari hati untuk mereka yang terkasih. Dari proses yang aku jalani bersama mereka, kujadikan nilai untuk berbagi kepada orang lain. Aku semakin percaya bahwa prasangka dan curiga harus dihilangkan. Keyakinan ini, membawaku untuk berkenalan dengan anak-anak muda dari 7 Kota di Indonesia. Kota Bandung, menjadi rumah saat itu untuk kami belajar mengasihi dan dikasihi. Melalui training Boardgame for Peace 2.0, aku temukan makna hidup yang sesungguhnya.
Baca juga: PeaceGen Wakili Indonesia di HLPF (Berbagi Pengalaman Sukses Ajarkan Damai dengan Media Kreatif)
Boardgame? Seperti apakah permainan itu? Saya yakin, sahabat pasti penasaran. Boardgame adalah salah satu media pembelajaran yang dapat membantu kita untuk menyebarkan pesan damai. Boardgame bukan sekedar permainan dadu yang biasa. Tapi, Boardgame sarat akan makna. Melalui Boardgame, kita dapat saling memahami, menghargai dan memaafkan. Setelah mengikuti pelatihan Boardgame for Peace di Kota Bandung, aku akhirnya menyadari bahwa sesungguhnya hidup harus memberi arti. Arti untuk menerima perbedaan.
Arti untuk menghargai dan memaafkan. Apakah aku hanya berhenti pada tahapan menerima arti? Tidak. Aku tidak hanya berhenti pada menerima arti, tetapi juga memberi arti. Pasca pelatihan di Kota Bandung, aku berkomitmen untuk memberi arti bagi sesama di Kota Ambon. Bermain Boardgame for Peace menjadi sarana bagiku untuk menyebar pesan damai. Bilik-bilik Mesjid, Gereja, Sekolah, Kampus dan bahkan ruang terbuka, menjadi wadah aku berbagi.
Tak memandang usia, pesan damai terus dihidupi melalui media Boardgame. Aku selalu tersenyum, apabila ada relasi yang baik terbangun antar orang yang berbeda. Aku dan teman-teman pernah bermain dengan anak-anak di pesantren, mesjid, gereja dan sekolah. Aku juga pernah bermain dengan anak-anak korban gempa di Ambon. Sahabat, hingga kini aku masih terus berkomitmen untuk menyebar pesan damai melalui media Boardgame for Peace. Mengapa? Karena damai harus terus hidup di tanah ini. Sahabat, itu kisahku. Kisah pahit yang akhirnya manis. Aku harap kamu juga mengalaminya.
Penulis : Yamres Pakniany – Koordinator AoP Ambon
Baca juga: SHIFT: Kolaborasi Antar Generasi Dalam Meningkatkan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan