PeaceGen Menjembatani Ruang Perjumpaan Beragam Siswa dari Tiga Sekolah dengan Latar Belakang Berbeda – Newsletter Edisi #23

BDW Day:  3 SMP di Jawa Barat Berkolaborasi Melawan Intoleransi di Sekolah

Rebecca, siswi SMP Kristen Yahya terlihat asyik berinteraksi, bermain, dan berdiskusi dengan Sheilla santri Peacesantren Welas Asih Garut. Perbedaan latar belakang sekolah, suku, dan agama tak jadi penghalang. Ini adalah moment perjumpaan 48 siswa dari SMP Kristen Yahya, Peacesantren Welas Asih Garut, dan SMPN 17 Bandung setelah sebelumnya mereka menyelesaikan pembelajaran 12 Nilai Dasar Perdamaian (NDP) yang di inisiasi PeaceGen.

Melalui media podcast, para pelajar tersebut mempelajari nilai-nilai perdamaian seperti menerima diri, menghapus prasangka, menerima perbedaan, menyelesaikan konflik, dan menolak kekerasan.

Tak berhenti sampai mempelajari, mereka juga berkolaborasi membuat karya dalam bentuk komik, infografis, mini lessons, cerpen, podcast yang menyuarakan pesan perdamaian. Peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil yang beranggotakan siswa dari tiga sekolah dan latar belakang berbeda. 

Setelah mempelajari nilai perdamaian dan membuat karya yang menyuarakan perdamaian, akhirnya mereka berkesempatan untuk mengalami langsung perdamaian dalam acara Breaking Down the Walls Day atau BDW Day. 

Baca juga: SHIFT: Intergenerational Collaboration to Enhance Freedom of Religion and Belief

Di sanalah mereka ditantang untuk meruntuhkan prasangka terhadap teman yang berbeda sekolah, beda suku, dan agama. Kegiatan ini menjadi pengalaman yang bermakna bagi remaja seusia mereka. 

“Dulu, Sheila pernah nge-gank, tapi Sheila gak bisa menjadi diri sendiri karena pergaulan yang toxic. Setelah belajar nilai ketujuh, Sheila jadi tau ternyata pergaulan itu punya dampak yang besar. Kalaupun mau nge-gank juga harus lihat dulu apa yang dilakukan gank tersebut, apakah merugikan diri sendiri dan orang lain atau tidak”, tutur Sheila, siswa Peacesantren Welas Asih. 

BDW menjadi salah satu program unggulan PeaceGen dalam menanam benih perdamaian. Program ini pertama kali diluncurkan tahun 2008, hingga kini telah berhasil menjembatani perjumpaan beragam siswa dan sekolah dari latar belakang berbeda. 

Program ini menjawab masalah polarisasi yang kini makin terjadi di masyarakat kita. Mulai dari polarisasi agama, kelompok hingga politik. Juga mendukung Kemenristek Dikti dalam melawan tiga dosa besar dalam pendidikan, yaitu intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual.  

Baca Juga  Pengumuman Seleksi LGD Program Frosh ID - ITB

Training Self Love: Mengajak Korban Terorisme Berdamai dengan Trauma Mereka

Konflik tak terjadi dalam satu malam. Benih-benih konflik biasanya diawali dari ketidaktahuan dan tidak saling mengenal. Berlanjut pada kesalahpahaman dan saling prasangka. 

Baca juga: Training for Youth - SHIFT Create and Maintain Interfaith Harmony

Saat prasangka terus berkembang menjadi kebencian, maka tinggal menunggu pemicu saja untuk sebuah konflik yang akhirnya meletus.

Terorisme dan tindakan ekstrem pun lahir dan berawal dari benih prasangka dan kebencian. Hingga mendorong seorang melakukan aksi keji yang bisa melukai korban tak berdosa. 

Berkaitan dengan korban, PeaceGen juga kembali menggelar training untuk korban-korban tindakan terorisme bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Bali tanggal 29 – 31 Maret 2022.

Ini adalah kedua kalinya PeaceGen dipercaya LPSK untuk melatih para korban. Setelah training pertama, modul PeaceGen cukup efektif dan diterima dengan baik oleh para korban kekerasan ekstrem. 

Dengan modul Self Love yang merupakan modul turunan dari 12 NDP, para trainer dari Peace Academy mengajak korban untuk memahami enam langkah berdamai dengan diri. 

Training ini cukup memberikan pesan dan cerita perubahan dari pesertanya, seperti dari seorang satpam yang dulu menjadi penjaga gereja saat terjadi insiden pemboman di gereja Surabaya.

Baca juga: Asia Philanthropy Circle Supports Strengthening of Healthy Peaceful Culture and Tolerance

“Trauma luka di badan saya tak seberapa, yang menghantui saya sampai sekarang adalah tatapan dua anak kecil yang memakai rompi bom saat kejadian, yang seolah minta tolong saya karena mereka ketakutan, sayang remote bom keburu di ledakan jadi saya tidak bisa bantu dia. Saya marah dengan pelaku itu karena melibatkan anak tak berdosa, kini saya harus belajar memaafkan mereka dan menerima itu sebagai bagian dari masa lalu saya. Baru kali ini saya bisa mengekspresikan kemarahan saya, setelah sekian lama, terapi saya ke psikolog dan psikiater”.

Semoga tak lagi ada korban-korban berikutnya, lebih baik kita menanam benih perdamaian sejak dini. Salah satunya dengan menciptakan ruang perjumpaan seperti program Breaking Down The Walls.

Simak selengkapnya laporan terbaru kami dengan klik tombol di bawah ini.

Share