Bedah Buku Someone Has To Die: Konflik Keluarga Bisa Menjadi Pemicu Munculnya Benih Terorisme (Bagian Dua)

Cerita di dalam novel ini dibuat melalui perjalanan riset yang cukup panjang dan mendalam, termasuk cerita konflik keluarga yang terjadi antara ayah dan anak. Meski berbasis riset, novel ini tetap bisa dinikmati anak muda yang doyan baca karya sastra.

Seperti yang disampaikan Adriana Anjani, dipanggil Ana, Partnership Officer Peace Generation, sebagai penanggap diskusi sekaligus representatif anak muda yang juga menikmatinya.

“Di PeaceGen ini saya menyadari terorisme begitu dekat dengan kita sebagai individu. Novel ini menjadi media yang sangat tepat merefleksikan anak muda.”

Berbagai peristiwa diceritakan dengan alur yang sangat baik dan mengalir, sehingga pesannya mudah dicerna, meskipun menceritakan peristiwa terorisme.

Baca juga: Kabar Baik dari Indonesia

Karakter yang digambarkan juga sangat related dengan kehidupan anak muda, seakan-akan mereka punya profesi sendiri untuk berkembang. Bagaimana kisah Sari, Ikbal, dan Syukron yang punya pergolakan dalam dirinya masing-masing untuk menghadapai sesuatu yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.

Dialog-dialognya secara keseluruhan natural. Interaksi dan penokohannya juga sangat menarik. Kita bisa melihat berbagai karakter yang ketika mereka bertemu terjadi konflik dan dinamika yang seru.

Ana menyorot beberapa hal, salah satunya penokohan tentang Abdullah, karakter seorang bapak yang berperan vital dalam keluarga.

Penyebab Munculnya Konflik di Keluarga

Abdullah yang berprofesi sebagai guru silat dan guru di pesantren,  ia kurang merangkul anak-anaknya dan kurang membuka ruang dialog bagi anak-anaknya. Ketiadaan ruang dialog ini sangat rentan, karena anak-anak cenderung mencari informasi lebih lanjut di luar lingkungan keluarganya atau sumber lain yang menurut mereka reliabel.

Syukron, anaknya Abdullah bertanya tentang sesuatu kepada ayahnya. Namun, Abdullah memiliki masa lalu yang kelam dengan pertanyaan anaknya. Abdullah tidak bisa menjawab pertanyaannya, dan Syukron kecewa dengan ayahnya. Akhirnya Syukron mencari informasi tersebut kepada orang lain.

Mungkin novel ini belum teradaptasi dengan konteks saat ini, khususnya perkembangan sosial media. Sangat mungkin anak muda saat ini akan mencari jawabannya di internet.

Baca juga: PeaceGen Wakili Indonesia di HLPF (Berbagi Pengalaman Sukses Ajarkan Damai dengan Media Kreatif)

Dari cerita ayah dan anak ini, terlihat ada konflik dalam diri Abdullah. Ia punya konflik tidak hanya dengan orang lain, tapi juga dengan dirinya sendiri. Komunikasi di dalam keluarga ini sangat dibutuhkan agar bisa mewujudkan kehidupan yang harmonis.

Keresehan Nenden, salah satu penanya, mengenai anak muda saat ini sangat dekat dengan isu kesehatan mental. Banyak anak muda yang terjebak dalam hubungan yang toxic, trauma, dan isu self love.

Nenden merasa sedih saat membaca hasil riset Noor Huda Ismail, bahwa terorisme dekat dengan toxic masculinity. Dalam novel ini juga sama, peran ayah yang disfungsi diceritakan di novel ini. Ketika orang tua hanya memberi fasilitas fisik, sedangkan anaknya dibiarkan menonton YouTube, dll.

Menurut Nenden, sepertinya Peace Generation harus punya nilai ke-13 yang mengajarkan anak-anak cara memaafkan orang tuanya. Pengalamannya Nenden saat Peace Camp, anak muda mudah memaafkan mereka yang berbeda agama, tapi mereka cukup struggle dengan memaafkan ayahnya.

Nafik, dosen Universitas Muhammadiyah Malang, meresepons hal yang sama terkait peran ayah dalam keluarga. Melihat fenomena anak muda yang sedikit-sedikit ingin bunuh diri, mereka cenderung tidak dekat dengan keluarganya. Mereka disebut sebagai Strawberry Generation, enak dipandang tapi sudah busuk. Tampilannya menarik, tapi diajak diskusi mudah nge-hang.

Jim mencontohkan karakter anak muda tersebut melalui karakter Sukron, ia sering baca kitab, tapi karena ruang dialognya dipersempit, lalu ia mengambil kesimpulan harus ikut jihad. Artinya Syukron mengikuti rujukan yang salah.

Peran orang tua untuk Syukron mestinya memberikan pemahaman dan kesadaran, bahwa laki-laki tidak hanya mengurusi pekerjaan public, tapi memberikan juga pemahaman kalau moderasi keagamaan itu penting. Peran ini tidak hanya diserahkan kepada ibu.

Baca juga: SHIFT: Kolaborasi Antar Generasi Dalam Meningkatkan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Peran ayah itu sangat penting, perlunya menyisakan waktu di malam hari untuk komunikasi bersama anak. Membuka ruang dialog antara ayah dan anak meski sulit diwujudkan perlu dilakukan. Dengan adanya ruang dialog, konflik keluarga pun setidaknya dapat sedikit dihindari.

Di dalam novel ini, ada beberapa bagian yang sebenarnya membuat Ana merasa kurang nyaman dan cemas. Mungkin karena Ana punya pengalaman bertemu dengan mantan teroris, jadi merasa terpancing.

Akhir ceritanya juga masih sangat terbuka atau menggantung, membuat Ana jadi penasaran ending-nya akan seperti apa. Namun, di balik itu semua, intisari dari buku ini sangat baik. Bagaimana ajaran Islam dan Kristen digambarkan memiliki kemiripan.

Siapapun yang membaca buku ini akan terbuka pikirannya, misalnya ketika melihat ada orang yang punya jalan yang berbeda itu sebenarnya sama dengan kita.

Bagikan