5 Poin Tantangan Gerakan Kepemudaan untuk Perdamaian di Asia Tenggara

Laporan dari Jeremia Manurung untuk PeaceGeneration Indonesia

Disunting oleh: Kevin Adhitya

21/03/2025


Latar Belakang

Pemuda di Indonesia adalah masa depan dan potensi yang masih penuh misteri. Indonesia memiliki 68 juta pemuda (18-30 tahun) atau seperempat dari total penduduk. Mengejawantahkan segala potensi yang dimiliki pemuda-pemuda ini akan membuat Indonesia berkembang semakin pesat di segala bidang. Untuk itu, peningkatan kapasitas pemuda menjadi hal yang paling utama perlu dilakukan. 


Dalam hal ini, ASEAN ikut melibatkan organisasi kepemudaan termasuk PeaceGen dalam kegiatan ASEAN-UK YPS Forum di Jakarta dan ASEAN Future Forum (AFF) 2025 di Hanoi, Vietnam untuk menyusun cara peningkatan kapasitas pemuda yang sesuai dengan karakteristik budaya dan sosial di kawasan Asia Tenggara.


Bagaimana caranya?

Belajar dari Teman-Teman di Vietnam soal Mulai dari Diri Sendiri!

Pertama, meningkatkan kapasitas pemuda dapat dimulai dari sendiri. Hal ini sejalan dengan pemikiran tokoh perger asal Indonesia Tan Malaka percaya bahwa  pendidikan sejatinya bertujuan membentuk manusia yang memiliki pikiran yang tajam, perasaan yang halus, serta kehendak yang kuat.

Baca juga: Memaknai Kunjungan Paus Fransiskus: Mengapa Interaksi Lintas Iman itu Penting?


Hal ini diperkuat dengan diskusi PeaceGen bersama Duta Besar RI untuk Vietnam, Bapak Deny Abdi di mana kami melihat semangat dan tekad anak-anak muda di Vietnam sudah tumbuh sejak usia dini. Banyak dari mereka telah memiliki arah dan tujuan hidup yang jelas, serta menunjukkan kedewasaan dalam bersikap. Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan sebagian remaja di Indonesia yang masih terjebak dalam perilaku destruktif seperti tawuran, bermalas-malasan, atau bahkan kebingungan menentukan arah hidup.


Tak hanya itu, kami juga mendengarkan cerita perubahan yang menarik dari salah satu pemateri ASEAN-UK YPS Forum yang juga mantan peretas (hacker) asal Vietnam yaitu Hieu Minh Ngo. Hieu mengaku pernah tersesat dalam jalan yang salah, namun pada akhirnya menyadari kesalahannya dan memutuskan untuk berubah. Ia berharap semakin banyak anak muda yang dapat menemukan makna hidup yang lebih dalam, tidak sekadar mengejar kebanggaan semu atau terobsesi pada materi semata.


Apa yang harus diasah secara fundamental?

Sedikit keluar dari ruang batin terdalam, kita akan berbicara tentang kemampuan dasar yang seharusnya dimiliki setiap individu. Dua di antaranya adalah kemampuan berpikir kritis dan kemampuan berempati. Keduanya merupakan pondasi penting dalam membentuk pribadi yang sehat secara moral, sosial, dan siap untuk meningkatkan kemampuan hard skill.


Kemampuan ini sejalan dengan materi ASEAN-UK YPS berkaitan kriminalitas dengan digital, salah satu isu krusial yang dialami generasi muda Asia Tenggara. Memang untuk memberantas kriminalitas digital, ilmu berpikir kritis memainkan peran penting. Banyak tindakan melanggar hukum yang sebenarnya bisa dihindari jika seseorang mau berpikir lebih jernih dan mempertimbangkan konsekuensi dari tindakannya. 


Kami berdiskusi dalam kelompok kecil dengan Thuy Thi Thu Dinh, dari Cybercrime Operations Interpol yang percaya bahwa kemampuan untuk bisa berjeda, berpikir, dan mengambil kesimpulan secara sadar akan menghindarkan orang-orang menjadi korban atau pelaku kriminalitas.


Di sisi lain, kemampuan untuk merasakan—untuk benar-benar memahami perasaan orang lain—atau yang kita sebut sebagai empati, dapat menjadi benteng moral yang kuat. Seseorang yang mampu merasakan dampak perbuatannya terhadap orang lain cenderung lebih kecil kemungkinannya untuk menyakiti atau merugikan sesama.


Kemampuan penting anak muda untuk masa depan

Ketika seseorang telah mengenal dirinya dengan baik, berani mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, serta memiliki kemampuan dasar seperti berpikir kritis dan berempati, maka jalan untuk meningkatkan kapasitas diri dalam aspek-aspek yang lebih teknis—seperti hard skill—akan menjadi lebih terbuka dan efektif.


Di era saat ini, penguasaan terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan tingkat lanjut bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah kebutuhan. Dari berbagai percakapan dan diskusi yang berkembang di ASEAN-UK YPS maupun AFF, terlihat jelas bahwa kemampuan untuk memahami dan memanfaatkan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), quantum computing, literasi digital, big data, dan sejenisnya, akan sangat menentukan efektivitas dan efisiensi kerja kita ke depan. Bukan hanya soal kecepatan, mengintegrasikan teknologi juga tentang bagaimana kita bisa tetap relevan dan berdaya saing di tengah dunia yang terus berubah.

Baca juga: Breaking Down the Wall Community Bootcamp: Upaya Mempromosikan Kerukunan Antar Umat di Sumatra dan Jawa Barat

Unique Value Proposition Indonesia

Indonesia memiliki kekuatan khas dalam pendekatan yang berpusat pada kemanusiaan. Saat ini, Indonesia masih berpotensi memanfaatkan bonus demografi—populasi usia produktif yang besar—sebagai modal pembangunan. Namun, jika hanya dilihat dari segi jumlah, potensi itu belum cukup bermakna. Yang justru menarik adalah bagaimana karakter sosial dan budaya Indonesia membuka ruang bagi pendekatan-pendekatan yang lebih manusiawi dan kreatif.


Kami melihat beberapa inisiatif yang diceritakan di Jakarta yang mencerminkan hal tersebut. Misalnya, Mas Noor Huda Ismail yang merupakan Regional Expert on Preventing Violent Extremism, sangat  mengedepankan pendekatan psikologis dalam proses deradikalisasi. Kang Irfan Amali yang merupakan Direktur PeaceGeneration Indonesia, memanfaatkan media kreatif seperti board game, virtual reality, dan modul interaktif untuk mengajarkan nilai-nilai perdamaian secara menyenangkan dan membumi. Ada juga Mas Danar Juniarto yang merupakan Founder PIKT Demokrasi, merangkai kekuatan storytelling dalam ruang digital untuk menghidupkan narasi-narasi yang menggugah seputar demokrasi.


Gaya hidup masyarakat Indonesia yang relatif tidak terlalu kaku—dibandingkan dengan, misalnya, Singapura atau Vietnam—memberikan ruang tumbuh bagi imajinasi, empati, dan kreativitas. Ini adalah keunikan sekaligus kekuatan tersendiri yang patut dirawat dan diberdayakan.


Kami juga teringat sebuah pujian dari seorang musisi Malaysia dalam sebuah unggahan di Instagram. Ia mengatakan bahwa penikmat musik di Indonesia mampu menyelami dan memaknai musik dengan kedalaman yang berbeda, bahkan lebih emosional dibandingkan pendengar di negerinya sendiri.


Selain itu, dalam sebuah diskusi dengan Bapak Deny Abdi, muncul poin menarik yang sempat ia dengar dari salah satu petinggi Hyundai. Menurutnya, dalam jangka panjang, pendekatan Indonesia yang memberi ruang kebebasan bagi organisasi masyarakat sipil justru akan lebih unggul dibanding pendekatan yang bersifat top-down dan sentralistik.


Bina Damai di ASEAN - Menghidupkan Partisipasi Inklusif

Agenda Youth, Peace, and Security (YPS) serta Women, Peace, and Security (WPS) bukan hanya Agenda PBB namun merupakan bagian dari agenda kemanusiaan global. Mendorong partisipasi yang inklusif dari berbagai elemen masyarakat—termasuk pemuda dan perempuan—bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Saat ini, agenda YPS dan WPS sudah cukup sering diadopsi oleh organisasi masyarakat sipil (CSO), namun tantangan besar masih ada: bagaimana memastikan partisipasi mereka juga terwakili dalam pengambilan keputusan di tingkat tinggi, baik di pemerintahan maupun di organisasi nonpemerintahan.


Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa return on investment dari program-program YPS dan WPS sangat signifikan. Untuk setiap satu dolar yang diinvestasikan, dampak sosial dan ekonomi yang dihasilkan dapat mencapai lima hingga dua puluh dolar. Artinya, mengabaikan peran pemuda dan perempuan bukan hanya tidak adil, tetapi juga merugikan secara kolektif. Ini bisa disebut sebagai bentuk violence of exclusion—kekerasan dalam bentuk pengecualian.


Pemuda mencakup sekitar 30% populasi ASEAN, sementara perempuan mencapai 50% dari total penduduk. Sudah sewajarnya keterlibatan mereka dijamin secara proporsional, terutama dalam proses-proses penting seperti penyusunan kebijakan publik. Melibatkan mereka secara aktif akan memperkaya perspektif, memperkuat pendekatan, dan meningkatkan holistiknya solusi yang dihasilkan.


Baca juga: Peacetival Vol. 7 Sukses Rajut Perdamaian di Tengah Keberagaman Indonesia

Pemuda memiliki energi, kreativitas, dan semangat inovasi yang tinggi. Mereka bergerak cepat, adaptif terhadap perkembangan zaman, dan seringkali lebih berani dalam mengusulkan perubahan. Di sisi lain, perempuan membawa pendekatan yang lebih empatik, penuh kepekaan, dan kuat dalam membangun narasi-narasi kemanusiaan. Kolaborasi keduanya akan menciptakan sinergi yang sangat dibutuhkan dalam dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung.


Di ranah politik dan bina damai kawasan, pendekatan ekonomi menjadi salah satu perekat yang paling efektif. ASEAN yang lebih terbuka secara ekonomi telah menciptakan dinamika baru dalam arus barang, jasa, dan modal. Dalam sebuah pernyataan di AFF, Dato’ Anwar Ibrahim yang merupakan Perdana Menteri Malaysia, menyampaikan bagaimana pemerintah Malaysia dan Thailand kini mengintensifkan kerja sama lintas perbatasan antara Thailand Selatan dan Malaysia Utara. Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perbatasan, mendorong produktivitas, dan secara tidak langsung mengurangi potensi konflik.


Sementara itu, dalam narasi perdamaian kawasan, konsep ASEAN Centrality terus digaungkan. ASEAN tidak ingin menjadi kutub kekuatan baru yang mendominasi kawasan lain, tetapi ingin berperan sebagai poros kerja sama yang mengedepankan stabilitas dan dialog. Namun, pemaknaan terhadap centrality ini perlu terus diperjelas. 


Ia tidak boleh dimaknai sebagai kenetralan yang pasif. ASEAN tidak seharusnya tinggal diam ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia atau penindasan di salah satu wilayahnya. Keberpihakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan harus tetap menjadi prinsip utama. Karena pada akhirnya, perdamaian sejati tidak hanya dibangun dari kompromi politik atau integrasi ekonomi, tetapi juga dari keberanian untuk menyuarakan keadilan, keberpihakan terhadap yang tertindas, dan partisipasi yang sungguh-sungguh dari seluruh elemen masyarakat—terutama pemuda dan perempuan.

Bagikan