AoP Makassar: Di PeaceGen Aku Belajar Mengasah Empatiku
“Perdamaian adalah satu-satunya pertempuran yang layak dicetuskan” – Albert Camus.
Kalimat inilah yang patut ditanamkan pada diri kita ketika ingin menebarkan perdamaian kepada orang lain.
Pertempuran yang layak diaplikasikan, pertempuran yang layak diperjuangkan, dan pertempuran yang akan mendapat dampak positif bagi siapapun yang menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Saya Wulan Maghfirah, anak ketiga dari empat bersaudara. Saya lahir di Makassar 19 tahun yang lalu, juga menetap dan besar di Makassar.
Saat ini, saya sedang menempuh pendidikan untuk gelar sarjana di Universitas Hasanuddin jurusan Kehutanan. Saya mulai tertarik pada kegiatan menebar perdamaian setelah mengikuti training Board Game For Peace tahun 2018.
Bahkan, awalnya saya tidak mengetahui bahwa ada kegiatan semacam itu, tetapi berkat relasi akhirnya saya diajak untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Honestly, materi semacam ini baru saya dapatkan untuk pertama kalinya, belum pernah dapat di kegiatan manapun. Dari situlah awal ketertarikan saya tentang perdamaian.
Baca juga: Good News from Indonesia
Training dari PeaceGen Bukan Training Biasa
Setelah mengikuti training tersebut, tanpa sadar ada beberapa hal yang berubah di dalam diri saya.
Contoh kecilnya, saya mulai peka terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungan saya, mulai peduli pada konflik-konflik yang terjadi di sekitar saya.
Hal ini saya sadari ketika teman menegur saya bahwa saya yang dulunya bodo amatan, ternyata mulai peduli pada hal-hal seperti itu.
Saya enjoy mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan nilai damai dan itulah alasan saya mendaftar internship program Peace Generation ini.
Saya senang ketika orang-orang tahu betapa pentingnya arti damai di dunia. Saya senang ketika teman-teman saya tahu tujuan kita berdamai, dan saya senang ketika orang-orang disekitar saya menerapkan nilai damai di kehidupan mereka.
Walaupun awalnya saya sempat berfikir bahwa untuk apa mencampuri urusan mereka, yang berselisih mereka bukan saya, untuk apa saya peduli.
Tetapi mindset ini akhirnya berubah ketika saya bertemu dengan orang-orang yang lebih dulu peduli terhadap hal-hal yang terjadi disekitar mereka.
Yang dulunya hanya memikirkan diri sendiri, urusan sendiri, tujuan, kebahagiaan sendiri, sekarang malah menganggap bahwa percuma kita bahagia tetapi orang-orang disekitar kita tidak merasakan hal itu. Sikap yang menjadi salah satu contoh sikap empati ini tentu saja saya dapatkan melalui training Peace Generation.
Tantangan yang Saya Rasakan Ketika Berusaha Menebar dan Menerapkan Nilai-nilai Damai
Untuk menyebarkan nilai-nilai damai tentu tidak mudah, karena ketika kita berusaha mendamaikan beberapa pihak, tidak sedikit diantara mereka menganggap bahwa kita terlalu mencampuri urusan mereka, kita terlalu sok peduli terhadap mereka.
Melihat kondisi Indonesia saat ini, kita tidak bisa menutup mata dan telinga bahwa masih banyak perselisihan yang terjadi, masih banyak kekacauan, perdebatan, kekerasan, dan hal-hal yang dapat membuat keretakan antara dua pihak atau lebih.
Tidak perlu melihat terlalu jauh, cukup melihat disekitar kita dan iya hal itu masih terjadi hingga saat ini.
Banyak penyebab dan faktor terjadinya perselisihan dan kekacauan. Seperti perbedaan agama, suku, bahkan tidak jarang karena perbedaan gender (peran perempuan dan laki-laki).
Menganggap bahwa hanya laki-laki yang bisa berkarir, berpendidikan tinggi, dan berpangkat tinggi. Tidak ada salahnya perempuan berkarir, berpendidikan tinggi, ataupun berpangkat tinggi karena kita semua sama.
Bahkan tidak jarang juga orang-orang berteman secara berkelompok berdasarkan status ekonomi, mereka hanya berteman dengan orang-orang yang memiliki status ekonomi yang sama.
Padahal, sebenarnya kita berteman tidak perlu mementingkan status ekonomi seperti itu. Keadaan ini menjadi contoh sikap empati yang masih sangat kurang dimiliki oleh orang-orang.
Saya sadar sebagai generasi muda harus melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Diluar sana, banyak anak muda, tetapi tidak semua yang mempunyai kesadaran yang sama.
Kesadaran mereka dapat tumbuh dengan bantuan kita, semoga. Melihat sekitar saya pun tidak jarang ada yang bermusuhan karena berlatar belakang agama yang berbeda.
Menganggap bahwa hanya orang muslim/muslimah yang suci dan beranggapan bahwa orang-orang yang bukan Islam itu orang yang penuh dosa. Padahal siapa yang tau kita bagaimana di mata Tuhan masing-masing.
Masih banyak hal-hal yang perlu diluruskan di lingkungan sekitar saya, sehingga saya merasa bahwa menemukan komunitas Peace Generation ini merupakan gerbang untuk dapat mengubah dan menyadarkan diri sendiri maupun orang lain bahwa pentingnya perdamaian.
Perdamaian merupakan suatu contoh sikap empati. Dengan terciptanya perdamaian pada diri kita dan lingkungan kita, maka kita dapat mencapai banyak hal positif dalam hidup.
Baca juga: SHIFT: Intergenerational Collaboration to Enhance Freedom of Religion and Belief
Oleh karena itu, saya bergabung sebagai peserta internship di komunitas ini. Besar harapan saya dapat belajar bersama dengan semua rekan yang terlibat di dalam komunitas ini untuk mencapai tujuan utama, yaitu perdamaian.
Salam hangat, Wulan Maghfirah.
Penulis :
Wulan Maghfirah (AoP Makassar)
Editor:
Siti Maratun Nuraeni (AoP Chapter Purwokerto)
Hidayah Tria Ananda (AoP Chapter Makassar)