Dari Sekedar Mengetahui Jadi Tanggung Jawab Moral untuk Mengimplementasikan Kehidupan Nol Limbah


Kisah Perubahan dari Miftahul Jannah, Anggota Senior Nasyiatul Aisyiyah - Peserta Pelatihan Nasional Peningkatan Kapasitas Keterlibatan Lintas Agama dalam Pengelolaan Risiko Lingkungan dari Mataram
Kak Mifta adalah anggota senior aktif dari organisasi sayap perempuan Muhammadiyah bernama Nasyiatul Aisyiyah yang bercabang di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Ia bekerja bersama para perempuan dan ibu-ibu di komunitas lokalnya untuk menciptakan pemberdayaan sosial Islam, salah satunya adalah menciptakan kegiatan keagamaan yang menghasilkan makanan. Namun, ia menyadari bahwa ternyata banyak sampah makanan yang dihasilkan secara lokal.
"80-90% sampah di komunitas saya berasal dari dapur. Sebagai anggota Nasyiatul Aisyiyah, saya peduli dengan peran perempuan dalam mengurangi jumlah sampah makanan."
Banyaknya sampah makanan yang dihasilkan, ia mulai peduli dengan prinsip-prinsip gaya hidup bebas sampah yang membawanya untuk bergabung dengan Pelatihan Nasional Peningkatan Kapasitas Keterlibatan Lintas Agama dalam Pengelolaan Risiko Lingkungan. Ia yakin bahwa sebagai anggota salah satu organisasi keagamaan paling terkemuka di Indonesia, ia dapat memberi dampak yang signifikan terhadap penerapan gaya hidup dan prinsip bebas limbah di Mataram.
Namun, ia memahami bahwa ini bukanlah misi satu orang. Itulah sebabnya kami bertanya tentang perspektifnya tentang prinsip-prinsip zero-waste dalam agamanya dan agama lain. Ia percaya bahwa Islam menentang alam yang boros, yang sejalan dengan gaya hidup zero-waste dengan mengonsumsi sumber daya secara bertanggung jawab.
Baca juga: 5 Poin Tantangan Gerakan Kepemudaan untuk Perdamaian di Asia Tenggara
Ia percaya bahwa manusia dapat merusak alam dengan bersikap boros dan tidak bertanggung jawab dalam menghasilkan limbah. Selain itu, ia juga mengetahui bahwa agama lain, seperti Buddha, memiliki pandangan serupa tentang tanggung jawab manusia untuk tidak merusak alam, yang disebut ahimsa.
Jika ada kesamaan antara agama yang berbeda ketika berbicara tentang cara mengelola sampah dan risiko lingkungan, kami kemudian menanyakan pendapatnya tentang peluang kolaborasi lintas agama untuk gaya hidup zero-waste. Mifta dengan tegas mengatakan ya, dan harus ada yang dilakukan di Mataram.
Di sinilah kami, PeaceGen berperan. Ketika ia terpilih untuk mengikuti pelatihan nasional, ia bertemu dengan rekan-rekannya yang lain, tidak hanya dari berbagai organisasi keagamaan atau keyakinan, tetapi juga dari berbagai generasi, saat kami mendatangkan Raka dan Reza dari Peradah Indonesia (persatuan pemuda Hindu) dan Mulia NTB (gerakan pemuda lintas agama) untuk belajar dan berkolaborasi dalam pelatihan nasional tiga hari di Bandung.
Pandangan Mifta tentang Islam dan pengetahuan agama lain tentang sampah juga memengaruhi pemikirannya tentang komunitasnya. Ia tahu bahwa organisasinya menghasilkan sampah dapur, sementara banyak rekannya menghasilkan lebih banyak makanan dan plastik sekali pakai daripada yang mereka butuhkan.
Berdasarkan pengalamannya, ia menggagas acara pelatihan lokal untuk mengajarkan lebih banyak tentang Darurat Sampah Mataram, Pelatihan 3R (Gunakan Kembali, Kurangi, dan Daur Ulang) dan Pengolahan Sampah Berbasis Rumah Tangga dengan bantuan ulama setempat dan influencer zero waste.
Baca juga: Memaknai Kunjungan Paus Fransiskus: Mengapa Interaksi Lintas Iman itu Penting?
Mifta dan mitra lintas agamanya berhasil mengoptimalkan penggunaan bahan dan metode yang digunakan oleh PeaceGen dalam pelatihan nasional untuk membuat pelatihan lokal mereka lebih interaktif dan menarik. Selain itu, ia juga menerapkan manajemen acara zero waste dengan tidak menggunakan plastik sekali pakai dan menginstruksikan peserta lokalnya untuk membawa wadah makanan dan gelas minum.
Lebih jauh, perubahan Mifta dalam memandang isu pengelolaan sampah di Mataram juga diinternalisasi. Ia dan rekan-rekannya tidak hanya membantu orang lain agar lebih peduli dengan gaya hidup tanpa sampah, tetapi ia juga mulai melakukan lebih banyak hal untuk mempromosikannya dengan membuat kompos di rumahnya. Ia juga memprakarsai pembagian makanan gratis untuk acara buka puasa Ramadan dengan menggunakan daun pisang sebagai kemasan, bukan plastik sekali pakai.
“Perubahan paling signifikan dalam diri saya adalah saya menjadi lebih sadar dan merasa bersalah jika saya menghasilkan sampah. Sekarang, secara pribadi, ketika saya membeli makanan yang dikemas dalam plastik, rasa bersalah itu menjadi lebih besar setelah saya dilatih (oleh PeaceGen). Karena sekarang saya memiliki tanggung jawab moral untuk lebih berhati-hati. Itu sebabnya, ketika rekan-rekan saya bertanya tentang kemasan, sebagai anggota organisasi yang bertanggung jawab, saya menyarankan untuk menggunakan daun pisang saja. Sejak saat itu, acara Bagi-Bagi Takjil kami menggunakan kemasan yang lebih ramah lingkungan.”
Selain perubahan dalam perspektif lingkungan dalam dirinya, Mifta juga ingin lebih banyak berkolaborasi dengan anggota lintas agama di Mataram. Ia memandang tidak ada masalah dalam bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda agama karena ada kesamaan visi dan perspektif dalam berbicara tentang cara mengelola risiko lingkungan. Tidak hanya tentang visi bersama, Mifta percaya bahwa setiap orang, apa pun agamanya, harus bekerja sama untuk mengarusutamakan prinsip-prinsip gaya hidup bebas sampah.
“Salah satu aspek yang paling krusial adalah kolaborasi di bidang lingkungan hidup. Toh, ini bukan tanggung jawab satu agama saja, melainkan semua agama, dan semua agama memiliki realitas betapa pentingnya ajaran masing-masing agama. Sampaikan bahwa ajaran agama mengajak manusia untuk peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup.”